Salah satu biaya yang timbul dalam kegiatan usaha adalah pajak. Secara akuntansi, pajak yang dibayarkan dikategorikan sebagai biaya sehingga akan mengurangi laba perusahaan. Namun, dalam konteks menghitung penghasilan kena pajak, tidak seluruh biaya pajak boleh dibebankan. Pada Pasal 6 ayat 1 huruf a angka 9 UU Pajak Penghasilan (PPh), seluruh jenis pajak boleh menjadi biaya kecuali pajak penghasilan.
Hal tersebut kembali ditegaskan pada Pasal 9 ayat 1 huruf h UU PPh. Pada memori penjelasan dinyatakan bahwa:
“Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.“
Dari penjelasan tersebut jenis PPh seperti PPh 22 dan 23 tidak dapat dibiayakan. Meskipun begitu, pajak tersebut nantinya dapat dijadikan kredit pajak yang akan mengurangi jumlah PPh Badan yang harus dibayarkan. Berbeda dengan PPh 21, biaya PPh 21 dalam bentuk tunjangan tetap dapat dibiayakan, karena pada dasarnya PPh 21 adalah pajak yang terutang atas penghasilan karyawan. PPh 21 yang ditanggung perusahaan juga kini dapat dibiayakan sesuai UU HPP.
Jenis pajak lainnya yang dapat menjadi biaya adalah pajak daerah. Hal tersebut ditegaskan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.42/2002. Pada surat edaran tersebut, dijelaskan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah dapat dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak sepanjang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
- Berkaitan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan tidak bersifat final dan atau tidak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto / Norma Penghitungan Khusus
- Tidak termasuk pengeluaran untuk sanksi berupa bunga, denda dan atau kenaikan.
Selain itu, dalam menghitung penghasilan kena pajak, PPN dapat menjadi pengurang. PPN yang dimaksud adalah berkaitan dengan Pajak Masukan yang telah dibayarkan oleh Wajib Pajak. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan benar-benar telah dibayar dan berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Di sisi lain, ditegaskan bahwa apabila Pajak Masukan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto berkaitan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh, harus dikapitalisasi dengan pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.